KKM Kembali ke Nol Meter

Komentar Singgalang  13 Oktober 2010

Oleh H. Fachrul Rasyid HF

Niat Gebu Minang Jakarta untuk menyelenggarakan Kongres Kebudayaan Minangkabau (KKM) di Bukittinggi 30- 31 Oktober ini harus diurungkan lagi setelah sebelumnya diundur dari direncanakan di tempat yang sama 23 dan 24 September 2010 lalu. Kenapa?

Jawaban yang tepat datang dari Mantan Gubernur dan mantan Ketua LKAAM Sumatera Barat Drs. H. Hasan Basri Durin Dt. Mulia Nan Kuniang. Didaulat  berbicara saat pembukan  acara pra kongres kemarin ( 12/10/10) Hasan menyebutkan adanya kusut yang belum selelsai. Katanya, cobalah dipelajari lebih jauh. Jika kusut bulu ayam, cukup paruh yang menyelesaikannya. Atau kusus benang, carilah pangkalnya. Tapi kalau kusutnya kusut sarang tempua, tak ada cara lain, apilah yang bisa menyelesaikannya. “Coba pelajari lagi, kalau perlu panitianya dibentuk baru”, ujar Hasan Basri Durin.

Gubernur Irwan juga bersikap serupa. Katanya, keberatan dari berbagai pihak yang disampaikan kepada saya pantas dipertimbangkan. Namun demikian saya tak dalam posisi menolak atau mendukung KKM. “Saya cuma memfasilitasi dan memediasi antara dua pihak agar acara hari ini bisa mendapatkan titik temu,” ujar Gubernur Irwan sebelum kemudian meningggalkan ruangan melepas calon haji kloter pertama Sumatera Barat.

Saya yang ikut berbicara dalam dialog yang berlangsung kemudian menilai saran mantan Ketua LKAAM Hasan Basri Durin dan Gubernur Irwan merupakan isyarat agar rencana KKM dikembalikan ke nol kilometer. Artinya, kembali menelisik sosok jo jerami, kembali ke awal.

Tapi beberapa pembicara kemudian bersikukuh untuk meneruskan kongres, diikuti atau tidak oleh pihak-pihak yang menolak. “ Kalau mereka memang keberatan mestinya hadir dalam pertemuan ini. Nyatanya tidak. Lalu, buat apa segelintir orang itu harus dipertimbangkan,” kata mereka.

DR. Syaafroedin Bahar Ketua SC Kongres malah bicara lebih keras. Katanya, KKM mutlak diadakan. Sebab, kini rumah gadang telah condong. Adat dan agama sudah banyak ditinggalkan. Buktinya, ada 141 kasus HIV AID ditemukan  Bukittinggi dan Pasaman dan ditemukan pula kondom berserakan di kawasan Bukit Lampu Padang. “Mana pernah ada reaksi MUI dan LKAAM atas kejadian-kejadian itu,” katanya menyindir piha-pihak yang dianggap menolak kongres itu.

Meski banyak yang ngotot ingin meneruskan kongres, namun penjelasan Suwirman, notulen diskusi,  membuat hadirin terpurangah.  Katanya, organisasi yang menolak KKM adalah MUI, LKAAM, Bundo Kanduang, Dewan Kesenian Sumatera Barat, dan beberapa tokoh masyarakat. Sementara Tata Tertib Persidangan KKM menyatakan bahwa peserta KKM adalah seluruh organisasi di Minang. Artinya, jika organisasi di atas tak ikut tentu Kongres tak memenuhi syarat untuk diteruskan.

Akhirnya, menjelang waktu ashar panitia menskor sidang untuk memberi kesempatan panitia memutuskan apakah kongres dilanjutkan atau ditunda. Ternyata, keputusannya memang menunda KKM sampai November mendatang. Itupun dengan syarat jika  Gubernur Sumatera Barat berhasil menfasilitasi pertemuan antara pihak yang pro dan kontra.

Sebetulnya, alasan penundaan KKM dari 23 dan 24 September 2010 lalu, serupa dan dari organisasi yang sama. Upaya Irman Gusman mempertemukan pihak panitia di rantau dan tokoh masyarakat dari Kampung di kediaman Ketua DPD RI  itu di Jakarta, akhir Agustus lalu, hanya mencapaikan kesepakatan untuk “mamparambunkan” sementara rencana KKM itu sembari melakukan upaya pendekatan pihak pro dan kontra.  Sayang, belum jelas hasil “parambunan” itu,  muncul acara pra kongres dengan konsep dan panitia yang sama.

Kenapa banyak pihak menolak KKM, agaknya lebih karena persepsi yang melatar belakangi KKM yang dinilai belum beraspirasikan realita masyarakat Minang hari ini. Hal itu setidaknya terbaca dari prinsip KKM yang dinyatakan sebagai  lembaga tertinggi masyarakat Minang. Tak jelas apakah itu lembaga tertinggi dalam pemerintahan Sumatera Barat atau di atas lembaga masyarakat adat. Disamping ada keinginan untuk membentuk forum tungku sejarangan mengikuti hirarki pemerintahan. Jika demikian, di mana posisi LKAAM, MUI, termasuk KAN, BPN dan sebagainya yang ada di nagari.

Dari konsep KKM, baik tertulis maupun yang disampikan secara lisan sebelumnya, terkesan penggagas kongres menganggap Sumatera Barat seolah  wilayah pemerintahan adat dan mengabaikan Sumatera Barat sebagai sebuah wilayah administrasi  pemerintahan yang terdiri 19 daerah otonomi. Satu hal lagi yang dicemaskan, kongres itu hanya akan menjadi pengadilan istitusi masyarakat yang ada oleh para pembicara yang tak pernah terlibat bagaimana bergelut dalam kehidupan nyata di kampung. Artinya, bicara Minangkabau tentulah dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung, bukan?(*)

Tinggalkan komentar