Izin Tambang di Kawasan Terlarang

Fachrul Rasyid HF
Komentar Harian Singgalang 30 Maret 2017

Tak mengejutkan adanya berita tentang  rencana  Gonjong Limo (Organisasi masyarakat Kabupaten Limapuluh Kota) dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumbar menggugat Gubernur Sumbar lantaran tidak dicabutnya izin penambangan batu di  sekitar Koto Alam dan Mangilang Kecamatan Pangkalan Kotobaru.

Sebab, 17 September 2016 lampau saya melakukan perjalanan ke Kecamatan Pangkalan dan Kapur IX Limapuluh Kota mengamati kondisi tambang dan jalan raya yang terancam ambruk. Hasil pengamatan dan foto-fotonya kemudian dilaporkan kepada pihak terkait juga dimuat di halaman facebook.

Pertengahan Januari 2017 saya, Rusdi Djabar dan Alizar turun ke Limapuluh Kota dan kabupaten lain untuk mengevaluasi kesiapan Pemprov Sumbar menerima pengalihan kewenangan Izin Usaha Penambangan dari  Pemkab/Pemko sebagaimana diamanatkan UU No.23 Tahun 2014 Tentang Pemda. Kami bertemua dengan Sekda serta beberapa pejabat terkait.

Dari rangkaian kunjungan itu terbaca bahwa terjadi kefakuman pengawasan atas izin penambangan yang dikeluarkan kabupaten sebelumnya. Di satu pihak izin tambang dikeluarkan provinsi sedangkan pengawasan teknis penambangan dilakukan pemerintah pusat.

Meski peralihan itu efektif berlaku Oktober 2016, tapi mutasi pegawai dan peleburan kelembagaan di Kab/Kota sudah berlangsung sebelumnya. Dalam masa peralihan itu, bahkan sampai sekarang, Pemprov Sumbar belum menerbitkan SK atau Peraturan Gubernur sehingga tidak jelas bagaimana evaluasi dan pengawasan tambang yang diizinkan kabupaten sebelumnya. Semuanya kemudian menjadi heboh setelah bencana banjir dan tanah longsor menimpa Pangkalan dan Kapur IX, 3 hingga 5 Maret 2017 lalu.

Pada 12 Maret 2017  kami dari Gonjong Limo Padang, antara lain bersama mantan Rektor Uand Prof. Dr.Werry Darta Taifur, SE., Rektor UNP Prof. Drs. H. Ganefri, M. Pd., Ph. D, putera asli Pangkalan DR. Muchlis Hasan, Hasril Chaniago dan sejumlah pemuda menemui Bupati Irfendi Arbi dan Wakil Bupati Limapuluh Kota Ferizal Ridwan.

Setelah mendengar berbagai langkah penanggulang korban bencana, pembicaraan akhirnya sampai pada upaya penanggulangan bencana.  Tapi ada pertanyaan yang tak terjawab, mungkin sampai hari ini. Pertama, kenapa sampai ada izin penambangan di kawasan Koto Alam  atau kawasan pendakian 17 Km dan Mangilang itu?

Hal itu penting disampaikan mengingat daerah ini  kawasan terlarang bagi penambangan karena merupakan kawasan  hutan lindung yang berbukit dengan kemiringan di atas 45 derjat. Mulai dari puncaknya di Pintu Angin sampai ke Mangilang merupakan daerah tangkapan hujan dan hulu sungai-sungai yang mengalir ke timur. Untuk diketahui kawasan ini termasuk hutan lindung seluas 8.000 hektare terdaftar dalam register 37 tahun 1912.  Dari Pintu Angin sampai Kelok Sembilan dan Lubuk Bangku merupakan kawasan Hutan Teluk Air Putih, hulu sungai yang mengalir ke arah barat.

Nyaris semua pemukiman berada diantara lereng bukit, jalan nasional Sumbar- Riau dan sungai-sungai itu. Artinya, secara teknis penambangan batu di kawasan ini sangat rawan bencana dan akan berdampak sangat luas. Hal ini dikuatkan foto-foto dari udara dari Tim UNP.

Karena itu bisa dimaklumi jika sampai priode bupati sebelumnya tidak ada izin penambangan batu di kawasan tersebut. Kalau pun ada penambangan dilakukan warga secara kecil-kecilan tentu tanpa izin.

Sekedar mengingatkan, sekitar Desember 1998 silam PT. TAAN, milik pengusaha Seleh Ismail, membuka lahan dan menebangi hutan di daerah perbukitan Mangilang. Perusahaan itu diamuk warga dan truk-truknya dibakar massa sampai akhirnya ditutup. (baca Membabat Daerah Terlarang Gatra, 28 Desember 1998). M Hatta, Kepala desa Mangilang kala itu, amat mencemaskan bahaya galodo akan menghantam desa seperti yang terjadi 3 Maret 2017 lalu.

Pertanyaan kedua yang tak terjawab adalah jika kini Bupati tidak berwenang mengeluarkan atau mencabut izin penambangan setelah adanya pengalihan kewenangan ke provinsi, kenapa Bupati tak melaporkan dan meminta gubernur mencabut izin enam tambang di kawasan berbahaya itu.

Yang terbaca kemudian memang ada berita bahwa Pemprov akan menghentikan kegiatan enam perusahaan tambang batu di kawasan berbahaya itu. Nyatanya dari laporan Gojong Limo, itu hanya janji dan karena itu Gonjong Limo menuntut janji tersebut.

Banyak,memang, alasan yang boleh dikemukan untuk membawa biang bencana banjir dan longsor yang telah merenggut nyawa dan membinasakan harta benda masyarakat itu ke pengadilan. Paling tidak ada tiga unsur yang perlu diminta pertanggujawabnnya. Yakni, pemberi izin karena memberi izin tambang di kawasan terlarang. Kedua, Pemprov Sumbar sebagai pengawas izin, sesuai UU 23/2014). Ketiga, perusahaan yang mendapat izin di kawasan tersebut.

Langkah tersebut menjadi penting, agar setiap kali terjadi bencana yang muncul bukan lagi wacana. Padahal RPJMD Sumbar 2010-2021 menetapkan prioritas pembangunan berwawasan lingkungan, mitigasi dan penanggulangan bencana. (*)

Komentar ditutup.