Investigasi Wartawan dan Polisi

Kenang-kenangan: Peserta Pelatihan Jurnalistik HMG foto bersama dengan bg Fachrul Rasyid Hf — bersama Andre Vetronius, Bayu Agustari Adha, Esha Tegar Putra, Novita Sri Dewi, DP Dinata, Sonya Winanda Sikumbang, Adil Wandi, Hendriko Firman Koto, Novita Yulia Sukiman, Fachrul Rasyid Hf, Vino Haluan, Andri El Faruqi, Rara Handayani, Delvi Yandra, Gadis Kampung, Della Syahni, Benny Sumarna, Asri Apriliani, Ade Faulina, Yurnaldi Paduka Raja dan Pajok Zondra Volta di Harian Haluan.

Oleh : Fachrul Rasyid HF

Berkunjung ke beberapa daerah tiga bulan terakhir saya sering bertemu  wartawan muda. Diantara mereka pernah mengikuti pelatihan wartawan yang diadakan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) atau  Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI). Mereka selalu menanyakan prihal investigasi wartawan atau polisi, materi yang saya berikan dalam pelatihan tersebut. Karena itu, saya merasa perlu menuliskan kembali.

Pada prinsipnya investigasi alias penyelidikan oleh wartawan dan polisi, sama. Rumusan yang digunakan juga sama, yaitu pasal 1 ayat 1 – 5  Bab I KUHAP. Investigasi atau investigative reporting adalah serangkaian penyelidikan yang dilakukan wartawan dalam upaya menemukan kebenaran fakta dan informasi yang setelah dikonfirmasi kepada sumber-sumber berkompeten ditulis sesuai unsur dan prinsip  berita atau laporan wartawan.

Sedangkan penyelidikan oleh aparat penegak hukum (polisi/ jaksa) adalah serangkaian upaya mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga tindak pidana untuk menentukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan. Penyidikan itu sendiri adalah mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi.

Belajar dari pengalaman menginvestigasi berbagai peristiwa kiminal (pidana) maupun perdata selama 25 tahun lebih, saya menggunakan rumusan atau kata lain tentang penyelidikan dan penyidikan oleh wartawan maupun oleh polisi itu. Yaitu, tahu dulu baru bertanya dan mengerti dulu baru menulis.

Untuk mengetahui sesuatu wartawan melakukan investigasi/penyelidikan. Setelah tahu duduk persoalan dan orang yang terlibat langsung atau tidak langsung  dalam satu perkara wartawan harus melanjutkannya pada penyidikan. Penyidikan oleh wartawan berbetuk konfirmasi kepada sumber-sumber terkait /berkompeten yang nama dan keterangannya bisa dikutip untuk ditulis atau dijadikan sumber tanpa menyebut nama (on backround).

Beda dengan penyelidikan, konfirmasi harus dilakukan terbuka dan terus terang. Ungkapkan semua masalah yang akan ditulis supaya sumber konfirmasi bisa memenuhi  hak-haknya, seperti hak jawab, sehingga berita yang ditulis memenuhi aspek perimbangan. Semua informasi hasil penyelidikan yang  dikonfirmasi itu kemudian diseleksi untuk ditulis jadi berita/laporan.

Sementara polisi, setelah mengetahui duduk perkara, biasanya dilakukan oleh bagian intelijen, baru kemudian dilakukan penyidikan, biasanya oleh bagian reserse. Untuk kasus-kasus tertentu, penyelidikan dan penyidikan bisa dilakukan langsung oleh reserse. Bentuknya, berupa pemeriksaan saksi atau tersangka, kadang diikuti penahanan, penggeledahan dan penyitaan barang bukti, seterusnya dilakukan pemberkasan perkara sehingga memenuhi syarat untuk dilimpahkan kepada kejaksaan.

Dalam penyelidikan di lapangan, wartawan atau polisi harus mampu membaca aspek psikolgis masyarakat agar komunikasi dengan sumber-sumber yang diperlukan tak tertutup dan penyelidikan jadi mudah, lancar dan aman. Ada kalanya diperlukan pendekatan formal dan terbuka. Sebaliknya ada kalanya menggunakan pendekatan pribadi, informal dan tertutup alias penyamaran.

Sesuai etika profesi, dalam berinvestigas/menyelidik harus bersikap objektif. Hindari pembenturan informasi dari satu pihak ke pihak lain, apalagi sampai menyebut nama sumber informasinya. Jika sempat teradudomba, diantara sumber bisa saling menyalahkan yang akan memperkeruh suasana sebelum penyelidikan rampung.

Selain itu, pembenturan informasi diantara sumber juga akan membuat jarak antara investigator/penyelidik dengan sumber-sumber informasi yang lain. Lagi pula cara itu akan mengesankan keberpihakan. Padahal sekali sumber informasi  mencium gelagat keberpihakan, penyelidik wartawan/polisi akan dituduh macam-macam. Misalnya dituduh jadi perpanjangan tangan lawan, menerima suap atau sogok dan sebagainya.

Sikap yang baik adalah menerima informasi dari semua pihak secara netral. Biarkan sumber membuka informasi seluas-luasnya.  Informasi dari satu pihak hanya bisa dijadikan bahan pendalaman pertanyaan kepada pihak lain. Lalu kemudian,  semua informasi diolah/dicerna sendiri oleh wartawan atau polsi, mana yang lebih mendekati kebenaran, mana yang punya bukti dan alasan hukum.

Sayangnya dalam banyak praktek di lapangan wartawan/ polisi, entah karena larut, terlibat atau melibatkan diri dalam perkara yang sedang diivestigasi, menjadi subjektif dan langsung main tuduh atau main klaim seolah satu pihak lebih benar dari pihak lain. Bahkan kadang, belum tahu duduk persoalan langsung menyalahkan pelapor atau pihak yang dilaporkan. Saya sendiri sering mendengar wartawan/ polisi berucap, sianu itu jahat, sianu itu tidak benar, sianu itu nanti saya tangkap dan sebagainya.

Arogansi seperti itu sangat merugikan investigator. Sumber–sumber yang tadinya  diharapkan mendukung investigasi malah jadi tertutup dan menutup diri. Yang merasa dibela berkoar-koar, sementara yang merasa dirugikan balik jadi musuh. Akibatnya pengungkapan kasus mengalami kesulitan.

Lebih parah lagi, wartawan/ polisi, meski belum tentu benar, dipergunjingkan masyarakat dengan berbagai tuduhan miring. Bahkan banyak yang dilaporkan kepada atasannya atau dibeberkan ke media sehingga dikenai mutasi atau dijatuhi sanksi.  Hal itu selain merusak karir, profesi dan institusi tentu juga akan membuat jauhnya masyarakat dari wartawan/polisi.(*)

Padang 20 Juli 2012

1 Responses to Investigasi Wartawan dan Polisi

  1. Adeira12 berkata:

    teringat semua pelajaran yg diberikan.terima kasih,Pak 🙂

Tinggalkan komentar